3.4.11

Sosok Perkasa

Tahun ini, usiamu 59 tahun sudah. Jelas, fisikmu tidak seperkasa dulu. Kerut di wajahmu menyembunyikan ketampanan dan menunjukkan lelah menjalani asam manis kehidupan selama 59 tahun hidupmu.


Langkahmu tak segesit dulu, matamu tak seawas dulu, bahkan ketika aku mengajakmu berbincang terkadang kau hanya diam dan ternyata kata-kataku tak terdengar. Aku merasakan perubahan drastis pada dirimu sejak 6 tahun lalu, setelah kejadian kau tergeletak di kamar mandi hingga terbaring tak berdaya selama sebulan di rumah sakit. Sejak saat itu, aku mulai melihat, membaca kemampuan fisikmu yang semakin renta.


Tapi aku juga melihat dan membaca, semangatmu tetap perkasa. Di masa-masa pensiunmu, engkau tetap giat belajar dan bekerja. Apapun kau lakukan dan kau tak pernah berdiam diri. Semakin kau mendekatkan dirimu dengan Tuhan, semakin memelukNya erat. Semakin jauh kau menjemput rejeki karena masih kau menganggap kau berkewajiban menafkahi kami, para wanitamu.


Ah, Bapak, aku malu. Aku belum bisa menggantikan posisimu sebagai tulang punggung keluarga. Aku, anak perempuan sulungmu, sudah bekerja, tapi apa yang bisa aku berikan? Tidak belum ada. Bahkan mendekati usiaku ke 28 tahun ini, aku belum juga memberikanmu seorang cucu pun. Menantu pun belum ada. Aku melihatmu terdiam ketika teman-teman masa lalumu bertanya, "Sudah berapa cucunya?" Terkadang itu menyesakkan dadaku. Maafkan aku.


Bapak, dibalik sosokmu yang semakin merenta, bagiku kau tetap sosok tertampan dan perkasa. Kau tetap idola sepanjang masa hidupku. Doaku selalu. Aku akan selalu menjadi salah satu anak perempuan kebanggaanmu. Janjiku selalu.